Have Seat Will Travel – Indonesia terus memperkaya ragam pariwisatanya dengan menghadirkan tempat-tempat unik yang mencerminkan keberagaman budaya dan keyakinan. Salah satu destinasi menarik yang kini menjadi sorotan adalah Bukit Rhema Borobudur, atau yang lebih populer dikenal sebagai Gereja Ayam. Tempat ini bukan sekadar bangunan ikonik di perbukitan Magelang, tetapi kini tengah dikembangkan menjadi kawasan wisata religi lintas agama. Terletak di Dusun Gombong, Desa Kembanglimus, tempat ini mencuri perhatian publik sejak dijadikan lokasi syuting film terkenal. Pengunjung tak hanya akan menikmati panorama alam yang menawan, namun juga menyaksikan simbol toleransi dan keharmonisan yang menjadi wajah baru dari pariwisata Indonesia. Pengalaman spiritual dan budaya kini bersatu dalam satu destinasi yang menawarkan lebih dari sekadar foto estetik di media sosial.
Pihak pengelola Bukit Rhema memiliki visi untuk mengubah lokasi ini menjadi wisata religi lintas agama pertama di Indonesia. Dimas Setya Wenas sebagai Marketing Pengelola menjelaskan bahwa izin sebagai kawasan wisata religi sedang dalam tahap administrasi dan diharapkan selesai tahun depan. Langkah ini membuka ruang besar untuk menjadikan Bukit Rhema sebagai simbol keberagaman agama yang hidup berdampingan secara damai. Dalam rencana pengembangannya, akan dibangun rumah ibadah sesuai dengan enam agama resmi di Indonesia, termasuk Mushola, Vihara, Pura, dan Klenteng. Bahkan pembangunan Mushola telah disepakati bersama dengan pihak Desa Karangrejo yang memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif ini. Transformasi ini menjadi bentuk nyata bagaimana tempat wisata dapat mengedepankan nilai toleransi dan pendidikan sosial bagi masyarakat Indonesia.
Meski dikenal luas sebagai Gereja Ayam, bangunan ikonik di atas Bukit Rhema sebenarnya berbentuk merpati. Nama ayam muncul akibat bentuk kepala bangunan yang menyerupai jengger ayam jika dilihat dari kejauhan. Namun bentuk asli bangunan mencerminkan lambang perdamaian. Dengan ukuran panjang 40 meter dan lebar 12 meter, serta tinggi mencapai 20 meter, struktur bangunan ini berdiri kokoh di atas permukaan laut 1800 meter. Bentuknya yang unik membuat banyak wisatawan tertarik untuk mendaki bukit dan menjelajahi interior bangunannya. Dari puncak kepala burung, pengunjung dapat menyaksikan pemandangan menakjubkan kawasan Borobudur. Inilah yang menjadikan tempat ini lebih dari sekadar tempat ibadah, tetapi juga spot fotografi favorit serta lokasi kontemplasi yang tenang dan sejuk.
“Baca juga: Wisata Baru Indonesia! Mercusuar Pulau Besar di Babel Bikin Traveler Penasaran”
Tak hanya menawarkan nuansa spiritual dan keindahan arsitektur, pengelola Bukit Rhema juga melibatkan masyarakat sekitar dalam pengembangan wisata. Salah satu kontribusi nyata adalah produksi kuliner lokal berupa singkong keju. Tanaman singkong sangat melimpah di kawasan ini dan kini dimanfaatkan sebagai oleh-oleh khas Bukit Rhema. Setiap pengunjung yang membeli tiket masuk akan mendapatkan singkong keju secara gratis, sehingga pengalaman berkunjung tidak hanya sekadar menikmati tempat, tetapi juga mencicipi produk lokal. Inisiatif ini membuka lapangan kerja bagi warga dan memperkuat ekonomi mikro di daerah tersebut. Langkah ini membuktikan bahwa wisata religi juga dapat selaras dengan pemberdayaan ekonomi warga tanpa mengurangi nilai-nilai spiritual yang diusung.
“Simak juga: Pulau Morotai Jadi Incaran Traveler 2025, Keindahan Alam Berpadu Sejarah Dunia”
Rencana jangka panjang Bukit Rhema bukan hanya fokus pada pembangunan fisik tempat ibadah, tetapi juga membentuk ekosistem wisata yang ramah bagi semua golongan. Pengembangan wisata religi lintas iman ini membawa angin segar bagi wajah pariwisata Indonesia yang semakin inklusif. Tempat ini menjadi simbol bahwa keberagaman dapat dirayakan dengan damai di satu tempat. Diharapkan dalam waktu dekat, Bukit Rhema akan menjadi rujukan utama bagi wisata religi nasional maupun internasional. Perjalanan spiritual, budaya, dan rekreasi berpadu menjadi satu kesatuan pengalaman yang autentik. Komitmen kuat dari pengelola dan dukungan masyarakat sekitar memperlihatkan bahwa transformasi ini bukan sekadar wacana, tetapi sebuah langkah nyata menuju harmoni dalam keberagaman.