Have Seat Will Travel – Saba Budaya Baduy merupakan konsep kunjungan budaya yang diperkenalkan masyarakat Baduy. Istilah ini digunakan untuk menggantikan kata “wisata”. Penolakan terhadap istilah “pariwisata” dilakukan demi menjaga nilai sakral budaya mereka. Saba Budaya berarti silaturahmi budaya antara masyarakat luar dan warga Baduy. Istilah ini mulai dikenalkan sejak tahun 2007 oleh masyarakat adat. Wilayah adat ini berlokasi di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten.
Di sana, hidup masyarakat Baduy yang masih menjaga adat leluhur. Komunitas ini merupakan sub-etnis dari suku Sunda yang sangat tertutup. Mereka menolak dokumentasi visual khususnya di wilayah Baduy Dalam. Gaya hidup masyarakatnya masih jauh dari pengaruh modernisasi. Keaslian budaya mereka telah dijaga secara turun-temurun. Sistem nilai dan kepercayaan mereka tetap lestari hingga kini. Wilayah Baduy terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbedaan keduanya terlihat dari aturan adat dan penerimaan pengaruh luar. Wilayah Baduy Dalam lebih ketat dan eksklusif dalam penerimaan pengunjung. Aturan adat lebih dijaga dengan ketat oleh masyarakat di sana.
“Baca juga: Taman Laut Pulau Menjangan: Keindahan yang Tak Terlupakan”
Sebelum memasuki kawasan Baduy, pengunjung wajib mempersiapkan mental dan fisik. Wilayah ini tidak memiliki listrik atau fasilitas modern lainnya. Segala bentuk kendaraan bermotor dilarang masuk ke wilayah tersebut. Barang elektronik seperti ponsel dan kamera dilarang digunakan di Baduy Dalam. Penggunaan alat dokumentasi di wilayah suci ini sangat dibatasi. Pengunjung diminta untuk menyesuaikan diri dengan aturan masyarakat Baduy. Pakaian sopan dan perilaku santun sangat dianjurkan selama kunjungan. Masyarakat Baduy sangat menjunjung tinggi etika dan kesederhanaan. Interaksi dengan warga harus dilakukan secara hormat dan tulus. Sikap terbuka dan penuh rasa ingin tahu sangat dihargai oleh warga. Bahasa tubuh yang sopan menunjukkan rasa hormat kepada tuan rumah. Setiap pengunjung diharapkan ikut menjaga kebersihan lingkungan. Sampah tidak boleh dibuang sembarangan selama berada di kampung.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy sangat bersahaja dan alami. Mereka bertani, menenun, dan membuat kerajinan tangan secara tradisional. Semua dilakukan tanpa bantuan mesin atau teknologi modern. Tradisi lisan menjadi sarana utama untuk mewariskan pengetahuan. Anak-anak belajar dari orang tua melalui praktik langsung. Sistem pendidikan nonformal ini sudah berlangsung turun-temurun. Nilai gotong royong sangat dijunjung dalam kehidupan sosial mereka. Setiap warga terlibat aktif dalam kegiatan komunitas sehari-hari. Tidak ada hierarki kekuasaan yang mencolok dalam kehidupan mereka. Kepemimpinan dilakukan secara kolektif dan berdasarkan adat. Keputusan penting diambil melalui musyawarah bersama. Adat menjadi hukum tertinggi yang ditaati tanpa paksaan. Masyarakat Baduy memandang alam sebagai bagian dari kehidupan suci. Alam tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan demi keuntungan pribadi.
“Simak juga: Deretan HP dan Tablet Xiaomi Terbaru Mei 2025: Teknologi Canggih untuk Kebutuhan Anda”
Penolakan terhadap istilah “wisata” bukan tanpa alasan. Konsep pariwisata dianggap mengandung unsur konsumtif dan eksploitatif. Istilah tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip hidup masyarakat Baduy. Saba Budaya diciptakan sebagai bentuk penyelarasan antara budaya dan interaksi luar. Interaksi dengan pengunjung diharapkan berlangsung secara bermartabat. Tidak sekadar hiburan, namun juga pertukaran nilai dan pemahaman. Melalui konsep ini, nilai budaya tetap terlindungi dari komersialisasi. Kunjungan pun menjadi sarana edukatif dan penuh makna. Proses adaptasi budaya terjadi secara alami dan tidak memaksa. Pengunjung ikut belajar menghargai cara hidup yang berbeda. Saba Budaya mencerminkan cara masyarakat Baduy merespon zaman. Mereka terbuka namun tetap menjaga jati diri leluhur. Perubahan dilakukan dengan kehati-hatian dan pertimbangan adat. Dengan begitu, kebudayaan tidak sekadar dipertontonkan tapi dipahami secara mendalam.