Have Seat Will Travel – Ferry Irwandi kembali menjadi sorotan publik setelah disebut dalam dugaan tindak pidana pencemaran nama baik terhadap institusi TNI. Komandan Satuan Siber atau Dansatsiber Mabes TNI Brigjen JO Sembiring menyatakan bahwa pihaknya menemukan indikasi pelanggaran melalui patroli siber yang dilakukan secara rutin. Dugaan itu mengarah pada konten yang diunggah oleh Ferry Irwandi yang juga dikenal sebagai pendiri Malaka Project. Berdasarkan laporan yang dikonsultasikan ke Polda Metro Jaya dugaan itu berkaitan dengan konten yang dinilai mencemarkan nama baik institusi militer. Meski laporan resmi belum dilayangkan Brigjen Sembiring mengaku telah mengumpulkan fakta dan bukti dari aktivitas daring Ferry Irwandi. Namun konsultasi hukum terus dilakukan mengingat Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan bahwa institusi tidak dapat melaporkan pencemaran nama baik. Langkah yang diambil Dansatsiber TNI ini memicu perdebatan publik khususnya soal batas antara kritik dan pencemaran di ruang digital.
Langkah Dansatsiber TNI dalam menindaklanjuti temuan terhadap Ferry Irwandi saat ini masih dalam tahap konsultasi hukum. Komandan Brigjen JO Sembiring datang langsung ke Polda Metro Jaya untuk membicarakan kelanjutan proses hukum atas dugaan pelanggaran yang dilakukan Ferry Irwandi. Fokus utamanya adalah soal apakah TNI sebagai institusi negara bisa menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik menurut UU ITE. Hal ini menjadi krusial karena Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa hanya individu yang dapat melaporkan kasus pencemaran bukan lembaga negara. Menurut AKBP Fian Yunus dari Ditsiber Polda Metro konsultasi masih berjalan dan belum ada laporan resmi yang dibuat. Beberapa pihak menilai langkah ini bisa membuka perdebatan lebih luas soal hak institusi dalam merespons kritik publik. TNI menganggap konten yang diunggah oleh Ferry Irwandi mengganggu citra dan kehormatan institusi namun harus ada kehati-hatian dalam proses hukum agar tidak bertentangan dengan putusan konstitusional.
Menanggapi kabar bahwa dirinya tengah dibidik oleh Dansatsiber TNI Ferry Irwandi memberikan respons santai namun tegas. Ia menyatakan belum mengetahui secara detail soal tuduhan yang diarahkan kepadanya dan mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi. Saat dihubungi awak media Ferry mengatakan dirinya tidak akan kabur atau lari dari tanggung jawab. Dalam unggahan di akun Instagram pribadi ia juga menegaskan bahwa ia siap menghadapi segala proses hukum yang berjalan. Ferry menolak disebut pengecut dan menyampaikan bahwa ia hanya menyuarakan ide serta pandangan yang diyakininya benar. Ia juga menyebut tidak pernah mengganti nomor telepon dan tetap dapat dihubungi siapa pun termasuk pihak berwenang. Pernyataan Ferry ini menjadi perhatian publik karena menyiratkan bahwa ia tidak akan mundur dan tetap mempertahankan prinsip kebebasan berpendapat. Reaksi masyarakat pun terbelah antara yang mendukung hak berpendapat Ferry dan yang mendukung langkah tegas dari aparat.
“Simak juga: Emas Makin Menggila! Harganya Tembus Rekor dan Belum Tergoyahkan!”
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 29 April 2025 membawa dampak besar terhadap cara penegakan hukum di ranah digital khususnya yang berkaitan dengan pencemaran nama baik. Dalam putusan tersebut MK secara tegas menyatakan bahwa institusi pemerintah korporasi profesi maupun jabatan tidak dapat menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik. Hanya individu atau perseorangan yang sah secara hukum untuk melayangkan laporan. Hal ini didasarkan pada prinsip perlindungan hak konstitusional setiap warga negara atas nama baik dan kehormatan secara pribadi. MK juga memperjelas bahwa UU ITE tidak boleh digunakan untuk membungkam kritik yang bersifat publik terhadap lembaga. Dalam konteks kasus Ferry Irwandi langkah Dansatsiber TNI dipertanyakan karena laporan yang ingin dilayangkan berasal dari institusi bukan individu. Konsultasi hukum yang sedang berlangsung pun tidak lepas dari pertimbangan atas putusan MK tersebut. Polemik ini berpotensi menjadi preseden baru dalam menentukan batas antara kritik konstruktif dan pelanggaran hukum.
Kasus yang melibatkan Ferry Irwandi dan TNI mencerminkan ketegangan klasik antara kebebasan berekspresi dan perlindungan nama baik institusi. Di era digital pernyataan di media sosial bisa menyebar sangat cepat dan berdampak besar baik secara positif maupun negatif. Ketika kritik disampaikan dengan nada tajam maka bisa dianggap sebagai bentuk pencemaran oleh pihak yang merasa dirugikan. Namun dalam sistem demokrasi kritik terhadap institusi negara seharusnya menjadi bagian dari kontrol publik yang dijamin konstitusi. Kasus ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam menggunakan instrumen hukum seperti UU ITE agar tidak digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat. TNI sebagai institusi negara harus berhati-hati dalam merespons kritik dari masyarakat sipil agar tidak menimbulkan kesan antikritik. Di sisi lain masyarakat juga perlu memahami batas etis dan hukum dalam menyampaikan opini agar tidak melanggar hukum. Dinamika ini akan terus menjadi bagian penting dari perkembangan demokrasi digital di Indonesia.